Kamis, 24 Oktober 2013

Menjadi Kader "Laa
Syai" (Dianggap Nothing)
By: Nandang Burhanudin
****
Dalam setiap perjuangan berjamaah,
kita diperlihatkan pelbagai fragmen
tipe-tipe pejuang. Ada pendiri
sebuah ormas-parpol-yayasan-
jamaah-komunitas-DKM, namun
kemudian menjadi "musuh" dan
lawan antagonis yang membenci
secara simultan. Berawal dari cinta
tidak ada matinya, di kemudian hari
berubah menjadi benci tiada henti!
Ada juga fragmen pribadi yang
dianakemaskan, dibina dengan
sentuhan-sentuhan tangan magis,
"dibesarkan", "ditokohkan", bahkan
"diberi ruang gerak yang lebih".
Namun di kemudian hari, ia menjadi
The Jobwhat. Tidak mengerti apa
yang harus dilakukan dan misi apa
yang harus diperjuangkan. Di awal ia
selalu di depan! Namun pada
akhirnya ia menjadi yang selalu
ketinggalan!
Di sisi lain ada juga jiwa-jiwa yang
di awal hingga akhir tetap utuh. Tak
terlalu nampak perubahan mencolok.
Secara karir biasa-biasa saja. Posisi
pun tidak berubah. Terkadang ikut
rombongan untuk naik level, tapi
sekali lagi ia biasa-biasa saja.
Prinsipnya menjadi garam di
masakan. Wujudnya tak terlalu
nampak di struktur, tak terlihat di
spanduk-spanduk, tak terpampang
di baliho-baliho. Namun perannya
dirasakan ada, walau ia dianggap
biasa!
Nah ada yang dari awal ia adalah
pribadi yang laa syai (nothing).
Namun ia terus bersabar ... terus
bersabar ... dan mereguk lautan
makna dari asam manis garam
kehidupan. Ia tak terdorong untuk
mencaci saat samudera dakwah itu
nampak kotor di permukaan. Sampah
berserakan. Bahkan tak sedikit
bangkai ikan yang bertebaran! Ia
hanya terus bertahan. Karena bagi
dirinya, samudera yang kotor
sekalipun jika terus fokus dalam
misi dan visi, akan tetap bermanfaat
mengantarkan kapal ke buritan.
Maka jangan aneh, bila suatu saat
nanti tipe-tipe kader Laa syai inilah
yang di kemudian hari menjadi kullu
syai!
Sahabat, mari kita renungi.
Bukankah kita menemukan, orang
yang dahulu merekrut kita menjadi
bagian dari dakwah ini, namun di
kemudian hari ia menjadi provokator
dan penyebar kebencian terhadap
kita sendiri.
Bukankah kita terkagetkan, dengan
ikhwan-akhwat yang dahulu sangat
taat dan ketat dengan prinsip.
Namun kini ia malah menjadi pribadi
yang berpakaian ketat. JIka ia
akhwat, ia tak lagi memperlakukan
suami dengan hormat. Jika ia
ikhwan, ia tak mampu membimbing
istri dan keluarganya menjadi ahli
akhirat. Malah tak sedikit keluarga
yang dipilih dari rahim dakwah,
namun di kemudian hari biduk
rumah tangga itu pecah! Bukankah
perceraian kini di kalangan aktivis
dakwah menjadi hal lumrah?
Kini kita paham, berada dalam
gerbong dakwah itu tidak terlalu
penting apakah kita masuk di awal
atau paling ujung. Tidak terlalu
penting apakah kita menjadi
koordinator, menjadi masinis, atau
menjadi tukang karcis. Toch masinis
itu hanya 1-2 orang saja.
Yang terpenting adalah, kita mampu
menggali potensi terbaik diri kita.
Jika ada yang bisa dimanfaatkan
untuk dakwah, maka niatkan Lillaahi
Ta'ala . Biarkan pahala Allah saja
yang diharap. Oleh karena itu, kita
tidak akan pernah "mundur" saat
ditegur. Marah saat diberi taushiah.
Ilfil saat tak jadi calon di DAPIL.
Keluar saat ide-ide kita tidak
dianggap mercusuar. Mari menjadi
pribadi yang tidak bersedih karena
tidak dihargai. Tapi bersedih, karena
diri kita tidak berharga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar