Minggu, 20 April 2014

Al-Akhfiyaa’

Lelaki itu baru saja menempuh perjalanan jauh. Perjalanan yang bukan hanya menguras tenaga, namun juga fikiran. Penat dan letih mendera hingga ke sumsum tulangnya. Ditemani oleh seorang sahabat, ia beristirahat malam itu. Tiga puluh menit setelah keduanya merebahkan tubuh, tiba-tiba lelaki itu berbisik, memanggil temannya, “Umar, sudah tidurkah engkau ... ?” Temannya menjawab, “Belum.” Lelaki itupun terdiam. Tiga puluh menit pun berlalu. Dalam keheningan malam, lelaki itu kembali berbisik, “Umar, sudah tidurkah engkau ... ?”. Temannya kembali menjawab, “Belum, wahai saudaraku ... “. Lantas keduanya kembali terdiam. Malam pun kembali senyap. Setelah satu jam dalam keheningan, lelaki itu kembali berbisik, “Umar, engkau sudah tidur ...?” Kali ini, temannya yang sesungguhnya belum tidur hanya terdiam. Tidak menjawab sepatah katapun. Lelaki itu pun mengira, bahwa sahabatnya telah tidur. Sejurus kemudian, ia pun bangkit dari peraduannya. Bersuci dan menghadap qiblat. Lantas, menghabiskan malam itu dengan isakan di hadapan Rabb-nya. Ia baru menyelesaikan qiyamul lail-nya malam itu, saat memperkirakan bahwa sahabatnya akan bangun.

Kisah ini diceritakan dengan penuh rasa haru oleh salah seorang tokoh pergerakan Islam abad ini, Umar at-Tilmisani, untuk menggambarkan perilaku sahabat sekaligus murabbi-nya yang sering menyembunyikan amal ibadahnya. Siapakah lelaki dalam kisah itu? Dialah Imam as-Syahiid Hasan al-Banna (Allahu yarham). Umar at-Tilmisani menceritakan kisah tersebut kepada Dr. Said Ramadhan al-Buthy, menantu sekaligus murid dari Imam Hasan al-Banna.

Saat membaca kisah ini, terkenanglah saya (penulis) akan perilaku ulama-ulama salaf (zaman dahulu) yang sering menyembunyikan amal sholihnya. Terkenanglah saya akan kisah Imam al-Mawardi seorang ulama sunnah yang terkenal, yang sampai akhir hidupnya tidak pernah mempublikasikan tulisan-tulisannya. Hingga ketika ia telah sakit keras dan merasa ajalnya telah dekat, ia memanggil seseorang yang dipercayainya, sambil berkata, “Buku-buku yang terdapat di tempat itu semuanya adalah karanganku. Jika kamu melihat tanda-tanda kematianku, dan aku sudah berada dalam sakaratul maut, maka masukkanlah tanganmu dalam genggaman tanganku. Jika tanganku menggenggam erat tanganmu dan meremasnya, itu tandanya karangan-karanganku tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Karena itu, segeralah ambil semua buku-buku itu dan buang semuanya ke sungai Dajlah pada malam hari. Tapi, jika tanganku membuka dan tidak menggenggam tanganmu, maka ketahuilah bahwa karangan-karanganku diterima oleh Allah azza wa jalla, dan aku akan memperoleh apa yang selama ini aku harapkan dari niat yang ikhlas.”

Orang kepercayaan Imam al-Mawardi itu pun bercerita, “Ketika kematian al-Mawardi telah dekat, saya letakkan tanganku di atas tangannya. Ternyata dia membentangkan telapak tangannya dan tidak meremas tanganku. Tahulah aku, bahwa itu pertanda karangan-karanganya telah diterima oleh Allah Ta’ala. Maka sepeninggalnya, aku perlihatkan buku-bukunya itu kepada orang-orang.”

Terkenanglah pula saya akan ungkapan Imam Syafi’i rahimahullah ta’ala, saat berkata kepada murid-muridnya, “Aku ingin orang-orang mempelajari ilmu ini, tanpa sedikitpun menisbatkan ilmu ini kepada diriku. Agar aku memperoleh pahala darinya, dan mereka tidak menyanjungku."

Mereka inilah para akhfiyaa. Orang-orang yang misterius. Orang-orang yang menyembunyikan amalnya. Orang-orang yang tidak suka dengan popularitas. Mereka adalah orang-orang yang berusaha menjaga dengan keras nilai keikhlasan dari setiap amal yang dilakukan. Tidak ada yang paling mereka takuti kecuali jika amal ibadahnya ditolak di hadapan Allah Ta’ala, karena dipenuhi virus popularitas, berupa riyaa (ingin diperhatikan) dan sum’ah (ingin dibicarakan) Kita akan dapati kisah-kisah mengenai mereka ini, saat membaca kisah ulama-ulama terdahulu (salaf). Dan sangat jarang kita dapati kisah-kisah seperti mereka pada tokoh-tokoh masa kini (khalaf). Wajarlah jika kemudian Allah Ta’ala memuji generasi yang lalu dengan ungkapan, “ulaaikal muqarrabuun.” (mereka itulah orang-orang yang dekat [truncated by WhatsApp]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar