Minggu, 13 April 2014

Mandikan Aku Bunda

Rani, wanita berotak cemerlang & memiliki idealisme tinggi. Memiliki sikap & konsep diri yg jelas: meraih yg terbaik, di bidang akademis maupun profesi yg akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.
Universitasnya mengirim dia utk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yg ”selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
Ketika ditanya soal ini, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan Alif selalu menyambut kedatangannya dg penuh ceria. Rani menyapanya sbg ”malaikat kecilku”.
Sungguh keluarga yg bahagia. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Siapa yg tak iri pada keluarga ini?
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani yg detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan & mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dg baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dg pengertian menurut meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, sang baby sitter atas nasihat dokter pribadinya membawa Alif ke UGD krn demam dan kejang-kejang. Tenyata, Allah sdh punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, Rani masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, yg tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?”
Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
-----
Semoga bermanfaat .. sunuh anak anak ini tidak salah  mari kita sebaai oran tua lebih intropeksi diri .. semoa kita semua dimampukan menjadi yan terbaik untuk anak anak

facebook.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar