Jumat, 02 Agustus 2013

.. Sungguh ajaib penjara Mesir. Darinya Nabi Yusuf masuk dan kemudian keluar menjadi raja Mesir. Dan darinya pula Mursi masuk lalu keluar menjadi presiden Mesir..
Catatan #1 Agustus - Menjemput Mati Syahid

-----------------------------------------------

Suatu kali saat menghadiri halaqah Quran, saya mendapati ustadzah yang biasa mengajarkan kami tampak kurang sehat. Wajahnya pucat. Tubuhnya dilapisi jaket sebagai penghangat. Sesekali matanya terpejam, mungkin menahan rasa sakit yang ia rasakan. Namun, beliau tetap fokus mengoreksi bacaan kami.

Sebelum pulang, salah seorang kawan sempat bertanya, "Ustadzah, kenapa nggak istirahat di rumah aja kalau lagi kurang enak badan? Memangnya nggak pusing?"

Ustadzah memang tak menjelaskan kalau ia sedang sakit. Tapi hanya dengan mengamati penampilannya, kami bisa menduga bahwa  Ustadzah sedang tidak fit. Rasanya pasti tak enak: kepala pusing, badan panas dingin. Dengan kondisi demikian, nyatanya ia tetap memilih mengajar ketimbang beristirahat di rumah.

"Pusing, sih. Tapi yaa dikuat-kuatin. Sakitnya belum seberapa. Kalau dibawa istirahat kadang justru malah tambah parah. Sahabat Rasulullah saw aja kan ada, yah, yang standar istirahatnya sampai pingsan dulu," jawab Ustadzah santai.

"Lagipula, kita kan semua mengharapkan mati syahid yaa? Saya pikir, mungkin ini bisa jadi jalan saya menuju cita-cita itu. Gimana mau syahid kalo baru sakit dikit udah minta istirahat. Jadi, kalaupun misalnya di tengah jalan saya pingsan bahkan sampai meninggal dunia, Allah mendapati saya sedang berjuang di jalan-Nya, dengan mengajarkan al Quran," lanjutnya.

MasyaAllah. Saya pernah menemukan orang-orang yang motto hidup-nya "hidup mulia atau mati syahid". Sayapun sering mendendangkan lirik "almautu fii sabilillah, asma' amanina". Namun, apalah arti tulisan dan ucapan jika tak diiringi dengan langkah nyata. Sikap Ustadzah menyadarkan saya bahwa jika memang kita merindukan gelar syuhada, maka segenap jiwa dan raga kita haruslah siap untuk menjemputnya. Tak harus menunggu perang fisik terjadi. Bahkan dalam kehidupan sehari-haripun, cita-cita itu dapat terwujud.

Saya mungkin terlalu fakir untuk bisa mendapatkan kisah-kisah yang serupa. Belakangan, saya baru tahu bahwa di Mesir yang hingga kini masih bergejolak, sebagian demonstrannya telah menyiapkan kafan untuk dirinya sendiri. Mereka juga menuliskan data diri di lengannya agar jika sewaktu-waktu nyawa terenggut, mereka mudah dikenali.

Keberanian mereka untuk menjemput maut ini tentu bukan sekadar upaya agar Mursi al hafidz kembali menjadi Presiden Mesir. Bukankah ada perbatasan Raffah yang harus diperjuangkan agar dibuka kembali? Apa yang saat ini mereka lakukan, boleh jadi adalah upaya menjemput kesyahidan mereka.

"Barang siapa mencari kesyahidan, akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai syahid."
- HR Muslim

Di belahan bumi Allah yang lain, kita mendapati bahwa untuk puasa saja, para muslim Uigur harus berhadapan dengan pemerintah yang menentangnya. Saudara-saudara kita di Suriah mungkin ada yang menjemput kematian dalam keadaan lapar meski daging kucing telah halal bagi mereka. Di Rohingya, setiap saat maut bisa datang merenggut bagi mereka yang tak dapat keluar dari negeri yang mengabaikan hak asasi mereka.

Bahkan seorang imam masjid di Gaza yang telah berkeliling ke beberapa kota di Indonesia untuk mengabarkan kondisi terakhir di Palestina, yang merasakan keindahan serta kenyamanan negeri kita, masih juga merindukan kampung halamannya. Karena di Gaza-lah arena jihad fii sabilillah terpampang nyata.

Maka, ketika diri ini mengharapkan "Hidup Mulia atau Mati Syahid". Yang perlu ditanyakan kembali adalah: Sudah seberapa menghujamkah jargon itu di dalam diri kita?

***
Di balik 3 jendela,
Sari Yulianti
1 Agustus 2013 pk. 19.50 wib

F

Tidak ada komentar:

Posting Komentar